Minggu, 07 April 2013
Sabtu, 15 Desember 2012
PT.SUM,BAWA JUTA RAYA (PT.SJR) TERBUKTI GAGAL DALAMHAL MENJAWAB PERSOALAN KESEJAHTERAAN DI SUMBAWA KHUSUNYA DI KECAMATAN ROPANG
12.36
1 comment
indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam dengan kekayaan dari dibeberapa sector yaitu kelautan, perikanan, pertanian , pariwisata dan pertambangan namun itu semua tidak dikuasai oleh Negara dan khususnya daerah penghasil sebut saja NTB tanahnya telah dikuasai oleh asing sebesar 44,42% untuk dijadikan lahan produksi, padahal roh amanat konstitusi UU 45 pasal 33 ayat 3 mengatakan bahwa bumi,air,tanah dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahtraan rakyat. Masuk ke pasal 4
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian.
berkaca pada perkembangan salah satu praktek keruk tambang yang dalam hal ini PT SJR
bahwa dari 20 perusahaan pemegang IUP di Kabupaten Sumbawa PT. SJR lebih maju dibandingkan perusahaan lainnya.
hal tersebut diketahui setelah DPRD Kabupaten Sumbawa menginisiasi dalam pelaksanaan pertemuan dengan para pemegag IUP dan meminta mereka satu persatu untuk menyampaikan progress perusahaannya dan sudah sejauh mana level mereka dalam bekerja.
“Dari pelaporan lisan tersebutlah kami dapat mengetahui perusahaan mana yang lebih maju dan akan lebih serius untuk melanjutkan aktifitasnya maka dari itu juga sejak masih menggunakan istilah kuasa pertambagan (KP) sehingga sekarang telah melakukan penyesuaian dengan regulasi yang baru yakni undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang minerba dengan menggunakan IUP sehingga perubahan dari KP ke IUP sudah merupakan rekomendasi dari Dinas pertambagan propinsi, Kabupaten Sumbawa dan Kementerian ESDM RI.
Karena IUP yang mejadi wilayah konsesi dikecamatan Ropang adalah masuk dalam hutan kawasan pada tahun 2009 sudah mendapat ijin dari Menteri kehutanan RI sesuai dengan permintaan UU 41/2009 tentang kehutanan.
“Hingga pada tahun 2010 Luas area yang sudah mendpat ijin menhut adalah 2000 Ha saat ini sedang dieksplorasi hinga rencananya tahun 2012 usai pasca itu baru berfikir untuk melanjutkan peningkatan perubahan ijin ke Produksi,” Paparnya.
Selain itu juga dia juga menjelaskan bahwa telah melakukan kontribusi nyata bagi masyrakat daerah tambang setempat yakni kecamatan Ropang dengan mengeluarkan dana CSR.
hal tersebut diketahui setelah DPRD Kabupaten Sumbawa menginisiasi dalam pelaksanaan pertemuan dengan para pemegag IUP dan meminta mereka satu persatu untuk menyampaikan progress perusahaannya dan sudah sejauh mana level mereka dalam bekerja.
“Dari pelaporan lisan tersebutlah kami dapat mengetahui perusahaan mana yang lebih maju dan akan lebih serius untuk melanjutkan aktifitasnya maka dari itu juga sejak masih menggunakan istilah kuasa pertambagan (KP) sehingga sekarang telah melakukan penyesuaian dengan regulasi yang baru yakni undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang minerba dengan menggunakan IUP sehingga perubahan dari KP ke IUP sudah merupakan rekomendasi dari Dinas pertambagan propinsi, Kabupaten Sumbawa dan Kementerian ESDM RI.
Karena IUP yang mejadi wilayah konsesi dikecamatan Ropang adalah masuk dalam hutan kawasan pada tahun 2009 sudah mendapat ijin dari Menteri kehutanan RI sesuai dengan permintaan UU 41/2009 tentang kehutanan.
“Hingga pada tahun 2010 Luas area yang sudah mendpat ijin menhut adalah 2000 Ha saat ini sedang dieksplorasi hinga rencananya tahun 2012 usai pasca itu baru berfikir untuk melanjutkan peningkatan perubahan ijin ke Produksi,” Paparnya.
Selain itu juga dia juga menjelaskan bahwa telah melakukan kontribusi nyata bagi masyrakat daerah tambang setempat yakni kecamatan Ropang dengan mengeluarkan dana CSR.
dalam hal ini Kab. Sumbawa khususnya di wilayah lingkar selatan adalah salah satu kabupaten/wilayah yang kaya akan sumber daya alam yang mencakup dari sumber daya alam yang saya sebutkan diatas. meliat polemic pertambangan yang terjadi disumbawa baik pro maupun kontra hanyalah sebuah pertentangan yang tidak ada titik temu dan hanya menguntung segilintir orang bukan untuk kesejahteraan masyarakat Sumbawa secara menyeluruh dan masyarkat lingkar seltan khususnya. Keberadaan PT. NNT, PT SJR, PT SAM dsb, yang jelas telah melanggar perjanjian saat sidang arbirase kok masih dipertahankan dan juga beberapa IUP yang tidak serius berinvestasi di Sumbawa masih diberi toleransi. Mari kita berpikir secara jernih dan cerdas dari amanat UUD 45 pasal 3 dan 4 tersebut
“ dari analisa kami di atas sebelumnya Kami mempunyai mimpi, kalau Tambang tidak ada di Kampung kami, pasti persaudaraan kami tidak goyah dan kami tidak pernah saling membenci, saling menfitnah di antara kami sendiri. Kami mempunyai mimpi, kalau Tambang Tidak ada, sampar hijau dan muara kami, tetap indah dan Hutan kami tidak rusak. Kami mempunyai mimpi kalau Tambang tidak ada kami tidak akan menjadi buruh di tanah kami sendiri. Dan kini mimpi kami itu telah hampir tidak menjadi kenyataan. Dan harapan kami, pupus ditengah jalan”.
Kami menyadari bahwa sangatlah susah dalam menyatukan berbagai macam keinginan dan pendapat umum. Tetapi ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk tidak bisa bersikap tegas terhadap kelestarian lingkungan, keselamatan ekosistem, keamanan, kedamaian, dan hidup rukun antar sesama saudara yang telah berurat-akar menjadi roh-nya hidup bermasyarakat. Terlebih lagi, soal lahirnya kebijakan dari pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan hanya mengutamakan kepentingan para petinggi politik, peguasa dan pemodal.
Dalam pemahaman sederhana kami, bahwa pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, setidak-tidaknya menyertakan prinsip-prinsip yakni partisipasi, keterbukaan, dan beroritentasi pada kepentingan hidup masyarakat banyak. Namun, fakta yang terlihat, berlindung dibalik alasan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi angka pengangguran, dan demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah,baik itu kemitraan yang di bangun oleh pemerintah daerah lewat beberapa pertambangan yang sudah mengan tongi IUP, prinsip-prinsip dalam sebuah tata pemerintahan yang bersih, baik dan demokratis, justru hanya menjadi slogan semata sebagai penghibur hati rakyat.
Dari fakta sejarah pertambangan yang ada di Indonesia khususnya Sumbawa hari ini, bahwa dari praktek pertambangan tersebut belum pernah pernah memberikan kontribusi dan keuntungan yang sangat berarti bagi masyarakat di sekitar pertambangan apalagi masyarakat umum.
Beberapa hal yang dapat dicatat sebagai akibat dari kebijakan IUP eksplorasi PT Keruk tambang yang dalam hal ini PT.SUMBAWA JUTA RAYA (PT. SJR),PT SAM dan PT NNT yang telah beroperasi di Kecamatan Lingkar Selatan Sumbawa Besar, yakni. Pertama, tidak adanya konstribusi yang jelas terhadap masyarakat setempat, Kedua, memaksa masyarakat Lingkar Selatan untuk mengubah profesi yang sebagian besar sebagai petani menuju buruh di atas kekayaan alamnya sendiri yang berkelimpahan, ketiga hidup masyarakat kecamatan Lingkar Selatan ibarat api dalam sekam, benih-benih perpecahan mulai nampak terasa. Haruskah ini dibiarkan berjalan terus??? Ahh….!! Tidak!!!.
Lebih lanjut, untuk meyakinkan Bupati, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota-Angota DPRD Kabupaten Sumbawa Besar dan semua pihak yang peduli dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat Nangaba, berikut ini kami menguraikan fakta-fakta yang kami jumpai dan kami alami di lapangan diantaranya :
Kami menyadari bahwa sangatlah susah dalam menyatukan berbagai macam keinginan dan pendapat umum. Tetapi ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk tidak bisa bersikap tegas terhadap kelestarian lingkungan, keselamatan ekosistem, keamanan, kedamaian, dan hidup rukun antar sesama saudara yang telah berurat-akar menjadi roh-nya hidup bermasyarakat. Terlebih lagi, soal lahirnya kebijakan dari pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan hanya mengutamakan kepentingan para petinggi politik, peguasa dan pemodal.
Dalam pemahaman sederhana kami, bahwa pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, setidak-tidaknya menyertakan prinsip-prinsip yakni partisipasi, keterbukaan, dan beroritentasi pada kepentingan hidup masyarakat banyak. Namun, fakta yang terlihat, berlindung dibalik alasan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi angka pengangguran, dan demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah,baik itu kemitraan yang di bangun oleh pemerintah daerah lewat beberapa pertambangan yang sudah mengan tongi IUP, prinsip-prinsip dalam sebuah tata pemerintahan yang bersih, baik dan demokratis, justru hanya menjadi slogan semata sebagai penghibur hati rakyat.
Dari fakta sejarah pertambangan yang ada di Indonesia khususnya Sumbawa hari ini, bahwa dari praktek pertambangan tersebut belum pernah pernah memberikan kontribusi dan keuntungan yang sangat berarti bagi masyarakat di sekitar pertambangan apalagi masyarakat umum.
Beberapa hal yang dapat dicatat sebagai akibat dari kebijakan IUP eksplorasi PT Keruk tambang yang dalam hal ini PT.SUMBAWA JUTA RAYA (PT. SJR),PT SAM dan PT NNT yang telah beroperasi di Kecamatan Lingkar Selatan Sumbawa Besar, yakni. Pertama, tidak adanya konstribusi yang jelas terhadap masyarakat setempat, Kedua, memaksa masyarakat Lingkar Selatan untuk mengubah profesi yang sebagian besar sebagai petani menuju buruh di atas kekayaan alamnya sendiri yang berkelimpahan, ketiga hidup masyarakat kecamatan Lingkar Selatan ibarat api dalam sekam, benih-benih perpecahan mulai nampak terasa. Haruskah ini dibiarkan berjalan terus??? Ahh….!! Tidak!!!.
Lebih lanjut, untuk meyakinkan Bupati, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota-Angota DPRD Kabupaten Sumbawa Besar dan semua pihak yang peduli dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat Nangaba, berikut ini kami menguraikan fakta-fakta yang kami jumpai dan kami alami di lapangan diantaranya :
1)Telah terjadi kerusakan jalan akibat jalur yang di pakai oleh trasportasi PT PT tersebut ( PT SJR, PT NNT, PT SAM) sehingga ini akan memperhambat akses untuk masyarakat Setempat
2)Tidak adanya konstribusi yang jelas terhadap masyarakat setempat termasuk dalam pemberdayaan pemberdayaan yang sifatnya membantu masyarakat petani untuk kemajuan wilayah setempat dari kungkungan kemelaratan
3)Tidak ada transparan dalamhal proses dan penempatan tenaga kerja yang mengakomodir semua wilayah kecamatan yang masuk wilayah lingkat penambang tersebut yang dalam hal ini masyarakat lingkar selatan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka kami yang tergabung dalam ALIANSI MASYARAKAT MASYARAKAT PAGAR DESA LINGKAR TAMBANG ( AMPD LINGKAR SELATAN) menyatakan sikap “MENOLAK DAN MENGUTUK SEMUA PRAKTEK KEBIJAKAN TAMBANG DI WILAYAH PEMUKIMAN LINGKAR TAMBANG YANG BELUM PERNAH MEMIHAK KEPADA MASYARAKAN YANG DALAM HAL INI (PT.NNT, PT SJR , PT SAM DAN 20 IJIN KP-IUP OLEH PEMERINTAH DAERAH UMUMNYA)”. Bersamaan dengan itu, kami mendesak / menuntut kepada :
1)Bupati sumbawa
a)segera melakukan Eefaluasi Bersama dengan Mayarakat terkait ke-bradaan tambang tersebut !!!
b)mendesak kepada semua perusahaan untuk melakukan diskusi bersama di depan masyarakat terkait gagalnya perusahaan dalam menjawab semua persoalan mendasar termasuk proses dan penempatan tenaga kerja !!!
2)Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumbawa Besar
a)Segera mendesak kepada pihak perusahaan untuk melakukan sosialisasi kembali terkait beberapa persoalan yang lahir di wilayah lingkar selatan !!!
b)Memintah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumbawa untuk selalu berjuang bersama masyarakat.
b)Memintah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumbawa untuk selalu berjuang bersama masyarakat.
Kami meyakini bahwa kalau petani tidak bisa bebas menekuni profesinya, bahwamasyarakat dipaksa mengubah profesinya menjadi buruh, bahwa masyarakat terus di adu domba dan bahkan dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan, serta bahwa pemerintah membuat kebijakan tanpa mendengarkan dan mengikuti sang pemberi mandatnya, maka secara sistematis, terarah dan terencana, Negara telah membangun jalan tol menuju masyarakat menjadi babu diatas tanahnya sendiri karena seluruh kekayaan dan keuangan rakyat dibawah pergi oleh Investor atas ijin pemerintah.
Bila pernyataan sikap dan tuntutan kami ini tidak diindahkan, maka kami akan turun melakukan aksi damai yang beruntun dengan jumlah massa yang lebih besar.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat dengan penuh rasa tanggung jawab untuk keselamatan kami dan generasi anak cucu kami.
Hormat kami,
aliansi masyarakat pagar desa lingkar selatan
aliansi masyarakat pagar desa lingkar selatan
(AMPD LINGKAR SELATAN)SUMBAWA BESAR
HERWANDI
( Koordinator )
KETIKA KITA DI LARANG DI NEGERI SENDIRI
Salah
satu kebiasaan masyarakat desa Lawin dan Lebangkar adalah ziarah ke
makam leluhur yang ada di Hutan gunung Dodo, tempat tinggal para leluhur
sblm kemudian mrk pindah ke desa Lawin dan Lebangkar..
dalam perjalanan..oops..ada Warning!!!, Why....?????
Kamis, 10 Mei 2012
PERTAMBANGAN DI INDONESIA MENURUT JOSEPH E. STIGLITZ
Joseph E. Stiglitz, seorang pakar ekonomi yang terkenal di dunia, dan penerima hadiah Nobel untuk keahliannya di bidang ekonomi. Pakar ekonomi yang juga pernah menjadi penasehat penting (setingkat menteri) dari Presiden Clinton ini, telah mengeluarkan pendapatnya yang kritis sekali mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan politik pemerintahan RI dalam masalah penanaman modal asing di Indonesia.
Tajamnya kritik Joseph E. Stiglitz ini bahkan bisa diangggap sebagai “tamparan” bagi banyak “economist” (ahli ekonomi) dan para pejabat tinggi Indonesia – terutama yang termasuk dalam golongan “Berkeley Maffia” – yang selama puluhan tahun (sejak 1967 !!!) sudah menggadaikan kekayaan bumi Indonesia kepada modal asing, terutama AS.
Kritik tajam Josepf Stiglitz ( yang juga professor di bidang ekonomi di Columbia University Business School dan pernah menjadi economist terkemuka di Bank Dunia) ini, patut sekali menjadi perhatian dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat serta aktifis berbagai organisasi di Indonesia, yang selama ini juga sudah menentang politik pemerintah mengenai modal asing (terutama AS).
Dengan menyimak kritik Stiglitz mengenai politik pemerintah Indonesia (sejak 40 tahun, mulai dari Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan berikutnya), maka kelihatan bahwa politik mengenai modal asing di Indonesia memang perlu sekali dirubah atau diperbaiki, demi kepentingan rakyat.
Kontrak dengan modal asing perlu di-negosiasi ulang.
Sebagian dari kritik economist terkemuka Stiglitz ini dapat dilihat dalam interrviewnya dengan Tempo, yang disiarkan oleh Tempo Interaktif (16 Agustus 2007), yang antara lain adalah sebagai berikut :
“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel, mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.
"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo.
”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksplotasi di Papua.
”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia..
”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan pencemaran lingkungan di selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya.
”Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas.
”Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana.
”Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, sepeti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang."
”Ia menyesalkan sikap seorang duta besar Amerika Serikat yang sempat meminta Indonesia menghormati kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi korupsi. Pejabat itu akhirnya diberi posisi manajemen oleh sebuah perusahaan tambang besar asing. "Ketika dia menguliahi Indonesia tentang korupsi, justru dia sedang mempraktekkannya," kata Stiglitz yang enggan menyebut nama pejabat itu. (kutipan dari Tempo Interaktif selesai)
Stiglitz: Indonesia korban globalisasi
Apa yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz di atas ini dibkin lebih jelas lagi dengan keterangannya yang lain yang berkaitan dengan pengalaman Argentina, yang juga menolak kebijakan-kebijakan Washington, yang disiarkan oleh harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007. Dalam berita di koran tersebut, yang judulnya “Stiglitz: Indonesia korban globalisasi”, berbunyi sebagai berikut :
“ Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel ekonomi 2001, berpendapat Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi, sekalipun perekonomian sudah mulai pulih dari krisis 1997/1998.
Selain itu, menurut mantan ekonom berpengaruh di Bank Dunia tersebut, Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor.
"Pertumbuhan ekonomi sudah pulih dari krisis [1997/98], tetapi tidak cukup cepat dalam menciptakan cukup pekerjaan dan mengurangi kemiskinan," tutur pencetus teori informasi asimetris yang mengantarkannya sebagai pemenang hadiah Nobel pada 2001 itu. Stiglitz berbicara dalam diskusi publik sekaligus peluncuran buku Making Globalization Work, yang diselenggarakan Tempo,
Saat ini, level pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sebelum krisis, yang pernah berada di atas 7% per tahun. Jika Indonesia gagal menerapkan kebijakan sendiri dalam mengelola dampak globalisasi, Stiglitz khawatir persoalan kemiskinan, pengangguran dan dampak lingkungan akan kian memburuk.
Mengambil contoh Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan diperburuk kebijakan IMF, pendekatan kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun setelah krisis.
"Penjelasan atas perbedaan itu adalah, Argentina menolak kebijakan-kebijakan berdasarkan Washington Consensus," Stiglitz menegaskan.
Konsensus Washington adalah paket kebijakan generik yang lazimnya disodorkan IMF dan Bank Dunia dengan mengencangkan ikat pinggang, seperti dianjurkan IMF terhadap Indonesia pascakrisis 1997/1998.Bahkan dengan tidak menganut Konsensus Washington, Argentina mampu membukukan surplus anggaran dan menurunkan angka pengangguran.
Stiglitz melihat negara berkembang yang patuh terhadap Konsensus Washington dengan menerapkan resep IMF dan Bank Dunia-melalui liberalisasi pasar modal- telah terjerumus ke dalam volatilitas pasar, selain terjebak pada kebijakan privatisasi yang korup. (kutipan dari Bisnis Indonesia selesai)
Pengalaman Bolivia dan Argentina
Dengan membaca dua berita yang disiarkan Tempo dan Bisnis Indonesia tersebut di atas, maka kiita bisa mendapat kesan bahwa apa yang diucapkan oleh Joseph Stiglitz ini merupakan kritik yang tajam sekali; bahkan bisa diatakan sebagai “tamparan” yang tidak tanggung-tanggung, bagi berbagai pejabat dan tokoh terkemuka masyarakat, yang sudah menjadikan RI sebagai sapi perahan bagi kepentingan asing, sedangkan ratusan juta penduduk Indonesia telah menderita karena kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan dan 13 juta anak-anak kekurangan makan.
Dengan mengambil contoh pengalaman-pengalaman Bolivia, dan Argentina,yang dapat memperbaiki ekonomi secara radikal dan meningkatkan kehidupan rakyat karena mentrapkan secara berani sikap “tidak tunduk” kepada dikte Washington, maka Stiglitz menganjurkan kepada pejabat-pejabat Indonesia supaya berani mengambil tindakan yang sama atau searah. Ia juga menganjurkan supaya masalah praktek-praktek buruk berbagai perusahaan besar asing ini banyak diangkat dalam media massa di Indonesia, untuk menggugah kemarahan orang banyak terhadap praktek-praktek buruk modal besar asing ini.
Anjuran Stiglitz semacam ini kiranya tepat sekali. Sebab, sejak 1967 (jadi sudah 40 tahun !!!, dan itu jangka waktu yang lama sekali) Orde Baru sudah membuka pintu lebar-lebar kepada banyak perusahaan-perusahaan besar asing untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia secara besar-besaran, seperti Freeport, Exxon, Newmont, Shell dll. Sejak itulah para pejabat rejim militer Orde Baru telah menjadikan Indonesia sebagai klien (langganan) kepentingan AS.
Sekarang makin terbukti bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan besar asing dalam bidang-bidang penting perekonomian (di bidang pertambangan, minyak dan gas, agro-alimentaire) di Indonesia menjadikan negara kita sangat tergantung kepada kepentingan luarnegeri, sehingga bangsa dan negara kita kehilangan kemandiriannya. Di samping itu, selama ini sudah terbukti juga bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan asing itu telah menjadi sumber korupsi para pejabat tinggi pemerintahan melalui macam-macam penyalahgunaan (ingat, umpamanya, “setoran” Freeport yang besar jumlahnya untuk kerjasama dengan militer di Papua)
Bertolak belakang dengan sikap J. Kalla
Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya Indonesia meninjau kembali perjanjian-perjanjiannya (kontrak karya) dengan maskapai-maskapai besar asing internasional mencerminkan visi dan tuntutan berbagai organisasi di Indonesia, seperti Wahana Lingkungan Hidup, Jaringan Advokasi Tambang, Koalisi Anti Utang, Papernas, Kosortium Pembaruan Agraria, Partai Rakyat Pekerja (dan banyak lainnya). Juga sesuai dengan aspirasi berbagai intelektual dan ormas, yang sudah makin banyak mengangkat suara yang juga makin lama makin keras, sebagai protes mengenai kasus Freeport, Newmont, blok Cepu dll.
Pernyataan Stiglitz ini mencerminkan -- dengan amat jelas! -- sikap yang bertolak-belakang sama sekali dengan sikap yang dipasang Wapres Jusuf Kallla, yang “dengan genderang yang ramai” telah berkunjung ke AS untuk menemui penggede-penggede perusahaan besar AS dan mengundang mereka untuk berinvestasi di Indonesia.
Kritik Stiglitz tentang praktek-praktek perusahaan-perusahaan besar asing (terutama AS) di Indonesia dan anjurannya untuk melawannya merupakan dukungan yang besar sekali kepada semua golongan yang selama ini sudah melakukan berbagai macam aksi untuk menentang perampokan kekayaan negara dan bangsa kita ini.
Berhubung dengan makin bangkitnya kesadaran di kalangan intelektual, mahasiswa, dan pemimpin-pemimpin organisasi di Indonesia tentang kerugian-kerugian bagi negara dan rakyat yang disebabkan oleh modal besar asing, maka bisa diharapkan bahwa kritik tajam dan anjuran Stiglitz seperti tersebut di atas akan lebih menggalakkan perlawanan bersama terhadap akibat-akibat negatif dari globalisasi dan neo-liberalisme.
Sekarang situasi negeri sudah makin menunjukkan bahwa sudah cukuplah kita menjadi bangsa kuli. Kita harus bersama-sama bangkit menjadikan bangsa kita mandiri!
Sumber :
(sumber : annabelle.aumars)
Tajamnya kritik Joseph E. Stiglitz ini bahkan bisa diangggap sebagai “tamparan” bagi banyak “economist” (ahli ekonomi) dan para pejabat tinggi Indonesia – terutama yang termasuk dalam golongan “Berkeley Maffia” – yang selama puluhan tahun (sejak 1967 !!!) sudah menggadaikan kekayaan bumi Indonesia kepada modal asing, terutama AS.
Kritik tajam Josepf Stiglitz ( yang juga professor di bidang ekonomi di Columbia University Business School dan pernah menjadi economist terkemuka di Bank Dunia) ini, patut sekali menjadi perhatian dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat serta aktifis berbagai organisasi di Indonesia, yang selama ini juga sudah menentang politik pemerintah mengenai modal asing (terutama AS).
Dengan menyimak kritik Stiglitz mengenai politik pemerintah Indonesia (sejak 40 tahun, mulai dari Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan berikutnya), maka kelihatan bahwa politik mengenai modal asing di Indonesia memang perlu sekali dirubah atau diperbaiki, demi kepentingan rakyat.
Kontrak dengan modal asing perlu di-negosiasi ulang.
Sebagian dari kritik economist terkemuka Stiglitz ini dapat dilihat dalam interrviewnya dengan Tempo, yang disiarkan oleh Tempo Interaktif (16 Agustus 2007), yang antara lain adalah sebagai berikut :
“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel, mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.
"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo.
”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksplotasi di Papua.
”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia..
”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan pencemaran lingkungan di selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya.
”Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas.
”Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana.
”Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, sepeti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang."
”Ia menyesalkan sikap seorang duta besar Amerika Serikat yang sempat meminta Indonesia menghormati kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi korupsi. Pejabat itu akhirnya diberi posisi manajemen oleh sebuah perusahaan tambang besar asing. "Ketika dia menguliahi Indonesia tentang korupsi, justru dia sedang mempraktekkannya," kata Stiglitz yang enggan menyebut nama pejabat itu. (kutipan dari Tempo Interaktif selesai)
Stiglitz: Indonesia korban globalisasi
Apa yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz di atas ini dibkin lebih jelas lagi dengan keterangannya yang lain yang berkaitan dengan pengalaman Argentina, yang juga menolak kebijakan-kebijakan Washington, yang disiarkan oleh harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007. Dalam berita di koran tersebut, yang judulnya “Stiglitz: Indonesia korban globalisasi”, berbunyi sebagai berikut :
“ Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel ekonomi 2001, berpendapat Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi, sekalipun perekonomian sudah mulai pulih dari krisis 1997/1998.
Selain itu, menurut mantan ekonom berpengaruh di Bank Dunia tersebut, Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor.
"Pertumbuhan ekonomi sudah pulih dari krisis [1997/98], tetapi tidak cukup cepat dalam menciptakan cukup pekerjaan dan mengurangi kemiskinan," tutur pencetus teori informasi asimetris yang mengantarkannya sebagai pemenang hadiah Nobel pada 2001 itu. Stiglitz berbicara dalam diskusi publik sekaligus peluncuran buku Making Globalization Work, yang diselenggarakan Tempo,
Saat ini, level pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sebelum krisis, yang pernah berada di atas 7% per tahun. Jika Indonesia gagal menerapkan kebijakan sendiri dalam mengelola dampak globalisasi, Stiglitz khawatir persoalan kemiskinan, pengangguran dan dampak lingkungan akan kian memburuk.
Mengambil contoh Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan diperburuk kebijakan IMF, pendekatan kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun setelah krisis.
"Penjelasan atas perbedaan itu adalah, Argentina menolak kebijakan-kebijakan berdasarkan Washington Consensus," Stiglitz menegaskan.
Konsensus Washington adalah paket kebijakan generik yang lazimnya disodorkan IMF dan Bank Dunia dengan mengencangkan ikat pinggang, seperti dianjurkan IMF terhadap Indonesia pascakrisis 1997/1998.Bahkan dengan tidak menganut Konsensus Washington, Argentina mampu membukukan surplus anggaran dan menurunkan angka pengangguran.
Stiglitz melihat negara berkembang yang patuh terhadap Konsensus Washington dengan menerapkan resep IMF dan Bank Dunia-melalui liberalisasi pasar modal- telah terjerumus ke dalam volatilitas pasar, selain terjebak pada kebijakan privatisasi yang korup. (kutipan dari Bisnis Indonesia selesai)
Pengalaman Bolivia dan Argentina
Dengan membaca dua berita yang disiarkan Tempo dan Bisnis Indonesia tersebut di atas, maka kiita bisa mendapat kesan bahwa apa yang diucapkan oleh Joseph Stiglitz ini merupakan kritik yang tajam sekali; bahkan bisa diatakan sebagai “tamparan” yang tidak tanggung-tanggung, bagi berbagai pejabat dan tokoh terkemuka masyarakat, yang sudah menjadikan RI sebagai sapi perahan bagi kepentingan asing, sedangkan ratusan juta penduduk Indonesia telah menderita karena kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan dan 13 juta anak-anak kekurangan makan.
Dengan mengambil contoh pengalaman-pengalaman Bolivia, dan Argentina,yang dapat memperbaiki ekonomi secara radikal dan meningkatkan kehidupan rakyat karena mentrapkan secara berani sikap “tidak tunduk” kepada dikte Washington, maka Stiglitz menganjurkan kepada pejabat-pejabat Indonesia supaya berani mengambil tindakan yang sama atau searah. Ia juga menganjurkan supaya masalah praktek-praktek buruk berbagai perusahaan besar asing ini banyak diangkat dalam media massa di Indonesia, untuk menggugah kemarahan orang banyak terhadap praktek-praktek buruk modal besar asing ini.
Anjuran Stiglitz semacam ini kiranya tepat sekali. Sebab, sejak 1967 (jadi sudah 40 tahun !!!, dan itu jangka waktu yang lama sekali) Orde Baru sudah membuka pintu lebar-lebar kepada banyak perusahaan-perusahaan besar asing untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia secara besar-besaran, seperti Freeport, Exxon, Newmont, Shell dll. Sejak itulah para pejabat rejim militer Orde Baru telah menjadikan Indonesia sebagai klien (langganan) kepentingan AS.
Sekarang makin terbukti bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan besar asing dalam bidang-bidang penting perekonomian (di bidang pertambangan, minyak dan gas, agro-alimentaire) di Indonesia menjadikan negara kita sangat tergantung kepada kepentingan luarnegeri, sehingga bangsa dan negara kita kehilangan kemandiriannya. Di samping itu, selama ini sudah terbukti juga bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan asing itu telah menjadi sumber korupsi para pejabat tinggi pemerintahan melalui macam-macam penyalahgunaan (ingat, umpamanya, “setoran” Freeport yang besar jumlahnya untuk kerjasama dengan militer di Papua)
Bertolak belakang dengan sikap J. Kalla
Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya Indonesia meninjau kembali perjanjian-perjanjiannya (kontrak karya) dengan maskapai-maskapai besar asing internasional mencerminkan visi dan tuntutan berbagai organisasi di Indonesia, seperti Wahana Lingkungan Hidup, Jaringan Advokasi Tambang, Koalisi Anti Utang, Papernas, Kosortium Pembaruan Agraria, Partai Rakyat Pekerja (dan banyak lainnya). Juga sesuai dengan aspirasi berbagai intelektual dan ormas, yang sudah makin banyak mengangkat suara yang juga makin lama makin keras, sebagai protes mengenai kasus Freeport, Newmont, blok Cepu dll.
Pernyataan Stiglitz ini mencerminkan -- dengan amat jelas! -- sikap yang bertolak-belakang sama sekali dengan sikap yang dipasang Wapres Jusuf Kallla, yang “dengan genderang yang ramai” telah berkunjung ke AS untuk menemui penggede-penggede perusahaan besar AS dan mengundang mereka untuk berinvestasi di Indonesia.
Kritik Stiglitz tentang praktek-praktek perusahaan-perusahaan besar asing (terutama AS) di Indonesia dan anjurannya untuk melawannya merupakan dukungan yang besar sekali kepada semua golongan yang selama ini sudah melakukan berbagai macam aksi untuk menentang perampokan kekayaan negara dan bangsa kita ini.
Berhubung dengan makin bangkitnya kesadaran di kalangan intelektual, mahasiswa, dan pemimpin-pemimpin organisasi di Indonesia tentang kerugian-kerugian bagi negara dan rakyat yang disebabkan oleh modal besar asing, maka bisa diharapkan bahwa kritik tajam dan anjuran Stiglitz seperti tersebut di atas akan lebih menggalakkan perlawanan bersama terhadap akibat-akibat negatif dari globalisasi dan neo-liberalisme.
Sekarang situasi negeri sudah makin menunjukkan bahwa sudah cukuplah kita menjadi bangsa kuli. Kita harus bersama-sama bangkit menjadikan bangsa kita mandiri!
Sumber :
(sumber : annabelle.aumars)
KAPITALIS DI TANAH BULAENG
SUMBAWA Tanah tua yang bergelimang kekeyaan alam, kandungan yang terkuak tahap demi tahap, seperti magnet yang menarik segala kepentingan untuk datang mengeruknya. Seperti Surga yang menjadi idaman para manusia. Hutan, laut dan kekeyaan kandungan mineralnya yang seakan tak pernah habis terkandung dalam perut pertiwi.
Sumbawa yang penduduknya tergolong minim, karena hanya berkisar 1,3 juta jiwa, lebih sedikit dari Pulau Lombok yang luasnya hanya 1/3 dari Pulau Sumbawa, Pulau Lombok memiliki penduduk 3,2 juta jiwa.
Adalah suatu hal yang tidak mengherankan, jika kemudian pulau yang memberikan masa depan kehidupan yang lebih baik ini menampung banyak pendatang dari berbagai daerah.
Lahan pertanian yang luas dan subur, lahan peternakan yang prospektif, hasil hutan yang melimpah ruah, serta kini sektor pertambangan yang semakin meluas. Sumbawa menjanjikan kehidupan yang lebih baik, Sumbawa menjadi tujuan para pendatang yang membawa harapan besar akan kehidupan yang lebih baik. tidak terkecuali, para kapitalis asing yang berkedok investasi kini dengan tangan besinya mulai merambah hingga ke jantung tanah Bulaeng.
"Bulaeng" adalah sebuah kata daerah Suku Samawa yang berarti "Emas" kata yang menyimpan makna yang sangat mendalam, kata yang penuh akan tanda tanya, namun kegairahan bagi para pemilik modal.
Negeri ini kini menjadi sebuah negeri yang ironi, disatu sisi, daerah ini menjadi sarang terbanyak para penderita gizi buruk, tingkat pendidikan yang tidak berjalan sebanding dengan distribusi daerahnya. Ikon Bumi Sejuta Sapi terkesan berjalan tersendat-sendat dan tidak sungguh-sungguh. Berbagai kepentingan politik antara daerah, provinsi dan pusat hingga kini masih menjadi topik hangat diberbagai media masa. Investasi dan divestasi adalah masalah hangat seperti tak berujung. disisi lainnya, masyarakat menuntut hak untuk menjadi tuan rumah didaerahnya sendiri, para pembonceng yang mengambil kesempatan dalam kesempitapun tak mau ketinggalan, usaha penciptaan konflik horizontal ditengah masyarakatpun seolah sengaja diciptakan.
Petanyaan terbesar, sungguhkah, Investasi Pertambangan di Sumbawa akan mensejahterakan masyarakatnya??
Sumbawa yang penduduknya tergolong minim, karena hanya berkisar 1,3 juta jiwa, lebih sedikit dari Pulau Lombok yang luasnya hanya 1/3 dari Pulau Sumbawa, Pulau Lombok memiliki penduduk 3,2 juta jiwa.
Adalah suatu hal yang tidak mengherankan, jika kemudian pulau yang memberikan masa depan kehidupan yang lebih baik ini menampung banyak pendatang dari berbagai daerah.
Lahan pertanian yang luas dan subur, lahan peternakan yang prospektif, hasil hutan yang melimpah ruah, serta kini sektor pertambangan yang semakin meluas. Sumbawa menjanjikan kehidupan yang lebih baik, Sumbawa menjadi tujuan para pendatang yang membawa harapan besar akan kehidupan yang lebih baik. tidak terkecuali, para kapitalis asing yang berkedok investasi kini dengan tangan besinya mulai merambah hingga ke jantung tanah Bulaeng.
"Bulaeng" adalah sebuah kata daerah Suku Samawa yang berarti "Emas" kata yang menyimpan makna yang sangat mendalam, kata yang penuh akan tanda tanya, namun kegairahan bagi para pemilik modal.
Negeri ini kini menjadi sebuah negeri yang ironi, disatu sisi, daerah ini menjadi sarang terbanyak para penderita gizi buruk, tingkat pendidikan yang tidak berjalan sebanding dengan distribusi daerahnya. Ikon Bumi Sejuta Sapi terkesan berjalan tersendat-sendat dan tidak sungguh-sungguh. Berbagai kepentingan politik antara daerah, provinsi dan pusat hingga kini masih menjadi topik hangat diberbagai media masa. Investasi dan divestasi adalah masalah hangat seperti tak berujung. disisi lainnya, masyarakat menuntut hak untuk menjadi tuan rumah didaerahnya sendiri, para pembonceng yang mengambil kesempatan dalam kesempitapun tak mau ketinggalan, usaha penciptaan konflik horizontal ditengah masyarakatpun seolah sengaja diciptakan.
Petanyaan terbesar, sungguhkah, Investasi Pertambangan di Sumbawa akan mensejahterakan masyarakatnya??